Minggu, 19 November 2017

Memupuk Rasa Syukur


Saya memiliki -boleh dikatakan- kebiasaan makan sambil nonton. Itupun kalau makannya sendiri, tanpa suami dan anak-anak. Entahlah, mungkin ini seperti salah satu ''me time'' bagi saya, bisa menikmati hidangan sambil menonton acara-acara yang sekiranya bermanfaat. Kadang Satu Indonesia di Net TV, kadang Jazirah Islam Trans 7, kadang Muslim Traveler Net TV, kadang Hitam Putih -yang ini pilih-pilih tema yang diangkat- kadang Syariah Wa Alhayat Al-Jazeera, kadang juga Film Dokumenter Al-Jazeera. Semuanya saya tonton via youtube. Selain menyantap hidangan, saya juga terhibur dengan suguhan tontonan yang memberikan input positif.

Kemaren, saya menonton Acara Hitam Putih yang menayangkan seorang Mahasiswa Ekonomi UMY yang berhasil lulus dengan nilai IPK 3.3 dengan berjualan gorengan selama masa kuliahnya. Perjuangan yang sangat inspiratif dan layak untuk dicontoh. Ia berasal dari keluarga biasa, memiliki cita-cita tinggi untuk bisa terus menuntut ilmu. Keadaan tak menghalangi tekadnya. Semangat serta kerja kerasnya mampu menghapus segala keterbatasan yang ada. Berjualan gorengan merupakan pilihannya agar ia bisa meringankan beban kedua orang tuanya dalam memenuhi biaya kuliah. 

Dengan usaha yang tak kenal lelah, ia jalani perannya menjadi seorang Mahasiswa dan penjual gorengan. Ia bagi waktu dengan baik. Kapan waktunya ia berada di pangkalan untuk menjajakan dagangannya, kapan ia masuk kuliah dan mengerjakan tugas. Hingga akhirnya apa yang ia dambakan terwujud. Ia berhasil lulus mengantongi gelar S1 dengan nilai yang cukup baik.

Saat menonton tayangan itu, tak tertahankan air mata saya menetes, saya menangis, tenggelam dalam rasa haru. Malu, karena diri ini acap kali masih sering mengeluh. Padahal betapa nikmat Allah begitu banyak tak terhingga. Begitulah manusia, seringkali mengeluh dengan apa yang dijalaninya sekarang. Padahal apa yang ia jalani itu justru adalah impian yang didambakan banyak orang.

Rasa syukur itu memang perlu dipupuk, latihan terus menerus tanpa putus, karena semakin banyak kita bersyukur, maka nikmat Allah akan semakin sangat terasa. Lihatlah segala apa yang terjadi dengan kacamata positif dan berbaik sangka terhadap Allah yang Maha Bijaksana.

Selain terus melatih diri dengan mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang kita lihat dan kita dengar, kunci agar kita bisa menjadi pribadi yang termasuk ke dalam golongan hamba-hambaNya yang pandai bersyukur adalah dengan selalu memanjatkan doa’ yang diajarkan Rasulullah Saw. yaitu: “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.

Kairo, Sabtu 22 April 2017



Read More

Sabtu, 08 April 2017

My Baby Koala



Nikmatilah saat menulis thesis sambil menyusui dan bolak-balik menggoreng bakwan di dapur
Nikmatilah saat mengetik dengan satu tangan kanan, sedangkan tangan kiri menopang baby koala yang tertidur pulas
Nikmatilah saat membaca buku-buku rujukan sambil menahan kaki dan tangan yang kesemutan karena khawatir baby koala terbangun dari mimpi indahnya
Nikmatilah saat melihat jarum jam bergerak cepat sedangkan layar Microsoft Word masih belum berubah karena harus memenuhi panggilan tangisan
Nikmatilah saat mata tertuju ke satu titik pembahasan dan otak siap mencerna kemudian buyar karena harus mengejar baby koala yang lincah merangkak ke sana sini
Nikmatilah saat buku yang dipegang tak berubah lembarannya karena baby koala turut mengambil alih buku dan pencilnya
Nikmatilah peranmu sekarang, karena sesungguhnya baby koala menempati prioritas utama dalam hidupmu 🙂

*My Baby Koala Hirzy Al-Hasyir 😘😘
Mikawi El Hayah Helwa, 14 Maret 2017


Read More

Rabu, 22 Februari 2017

Masjid ‘Amru bin Ash; Masjid Pertama di Benua Afrika


Kepala Ajudan beserta Hazqel dan Hirzy

Jum’at lalu, Alhamdulillah diberi kesempatan berkunjung sekalian shalat jum’at di Masjid Amru bin Ash, yang terletak di kota Fushtat, Kairo. Perjalanan dari tempat kami tinggal ke Masjid Amru ditempuh kurang lebih selama satu jam. Sebenarnya bisa lebih cepat sekitar 30-40 menit, selain jalanan kosong karena bertepatan dengan hari libur, juga ternyata rute perjalanan yang ditempuh sangat singkat. Hanya saja waktu itu Pak Sopir-nya agak santai mengendarai bis sambil mencari penumpang, jadi memakan waktu agak lama hingga kami sampai di tempat tujuan.
Tepat sebelum adzan shalat jum’at berkumandang, kami sudah sampai di depan pelataran masjid Amru bin Ash. Jama’ah berjubel berdatangan dari berbagai pelosok. Tidak hanya jama’ah laki-laki, jama’ah perempuan pun tak kalah banyak. Hal yang belum menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, dimana perempuan ikut menunaikan shalat jum’at. Teringat saat pulang kampung beberapa tahun silam, dengan pedenya saya ikut shalat jum’at bersama suami di Masjid Pandawa Salatiga yang ternyata selain mushala khusus perempuannya sempit, saat itu hanya saya seorang diri yang menjadi makmum perempuan. Berbeda dengan di Mesir, shalat jum’at bagi perempuan adalah hal yang biasa dilakukan.  
Hirzy Alhasyir saat mendengarkan khutbah jum'at :)

Saya, Hazqel, dan Hirzy bergegas masuk ke  mushala sayyidat (tempat shalat khusus perempuan). Kesan saya ketika memasuki mushalla perempuan yang juga masih salah satu bagian dari masjid ‘Amru bin ‘Ash adalah terawat, luas, dan indah. Kami pun memilih tempat yang masih kosong. Alhamdulillah Hazqel dan Hirzy anteng mendengarkan khutbah hingga shalat jum’at selesai ditunaikan.
Setelah shalat, kami pun memasuki shan (pelataran dalam masjid). Ternyata, selain jama’ah shalat jum’at, masjid ini pun dipenuhi wisatawan asing. Tak jarang, para agen travel memang memasukkan masjid ‘Amru bin Ash sebagai destinasi lawatan para turis. Kami bertemu beberapa wisatawan dari China dan Turki, selain tentunya wisatawan lokal Mesir. Bahkan wisatawan China memberikan makanan kecil untuk dua pangeran kecil kami, Hazqel dan Hirzy.

Wisatawan China 

Wisatawan Turki

Jika melihat bangunan masjid yang namanya disematkan kepada salah satu sahabat Nabi Saw. ‘Amru bin Ash, maka masjid ini memiliki kilas balik sejarah yang teramat penting bagi penyebaran agama islam saat itu. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. ‘Amru bin Ash diutus untuk Ekspansi ke Mesir. Setelah Berhasil memasuki Mesir tepatnya Iskandariyah, ‘Amru bin Ash ingin mendirikan ibu kota Mesir. Umar bin Khattab ra. sebagai khalifah saat itu, memerintahkan jika ingin mendirikan ibu kota usahakan agar letaknya jauh dari sungai dan laut, hingga terpilihlah salah satu daerah dekat Jabal Mukattam, tempat dimana Amru bin Ash bersama pasukan kaum muslimin mendirikan tendanya, dan kemudian tempat ini dinamakan Fushtat. Jadilah Fushtat sebagai pusat kota saat itu. 

Setelah memilih ibu kota sebagai pusat pemerintahannya, ‘Amru bin Ash lantas membangun masjid di tengah kota Fushtat pada tahun 624 M/21 H. Pada awal pembangunannya, masjid ini  sangat sederhana; dibangun dengan luas 50x30 hasta,  memiliki enam pintu, pelatarannya tanpa atap, tiang-tiang dalam masjid terbuat dari pelepah kurma, atap masjidnya dari daun pohon kurma. Luas masjid dengan keadaan seperti itu berlangsung hingga tahun 672 M/53 H. Sampai akhirnya pada masa Maslamah bin Makhlad Al-Anshori –Gubernur Mesir pada Masa Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan- masjid ‘Amru bin Ash diperluas dan direnovasi. Setelah masa tersebut, pada setiap tangan pemegang kekuasaan Mesir, masjid ‘Amru bin Ash terus mengalami perluasan dan perbaikan.  

Selain Amru bin Ash, banyak sahabat Nabi yang turut serta datang ke Mesir diantaranya;  Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash, Zubair bin ‘Awwam, Miqdad bin Aswad, ‘Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Maslamah bin Makhlad. Dari  para sahabat inilah penduduk Mesir mempelajari agama Islam.
Dari sejak dibangun, selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid ‘Amru bin Ash merupakan pusat halaqah keilmuan. Diantaranya Kajian Fikih yang diajarkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin Ash. Dengan suasana belajar sang guru bersandar ke salah satu tiang masjid dan para murid duduk melingkar mendengarkan pelajaran. Abdullah bin ‘Amru bin Ash bahkan merupakan pendiri dari Madrasah Misr Ad-Diiniyyah, dari beliaulah para penduduk Mesir banyak mendapatkan pelajaran agama Islam. Imam Syafii’, Laist bin Saad, Abu Thahir As-Salafi dan Al-‘Iz bin Abdu Salam adalah sederetan nama yang mengisi halaqah keilmuan dan menjadi khatib jum’at di Masjid ‘Amru bin Ash.
Shan; Pelataran dalam Masjid

Mushalla Sayyidat; Tempat shalat khusus perempuan



Peran Masjid ‘Amru bin Ash sebagai tempat ibadah dan halaqah keilmuan hingga sekarang masih terus berlanjut. Khatib Jum’at pada setiap minggu terjadwal rapi yang terdiri dari ulama-ulama besar Al-azhar yang memiliki keluasan ilmu yang tinggi. Bahkan pada bulan ramadhan, di Masjid ini dilaksakan shalat tarawih yang terkenal dengan sujudnya yang khusu’, tilawah quran yang merdu, dan doa’nya yang syahdu. Puncaknya, saat malam tanggal 27 Ramadhan shalat tarawih diimami oleh Syeikh Jibril yang mampu “menghipnotis” para jam’ah yang hadir. Demi bisa menunaikan shalat tarawih pada tanggal tersebut, jangan heran jika para jama’ah sudah berdatangan bahkan sejak pagi hari agar mendapatkan tempat saat shalat nanti. Jika terlambat sedikit, dipastikan tidak mendapatkan tempat shalat di dalam masjid. Jama’ah biasanya berjubel hingga memenuhi jalan raya.
Masjid ini selain penamaannya dinisbatkan kepada pendirinya, juga memiliki nama Masjid Al-Fath, Masjid Al-‘Atiq dan Masjid Taj Al-Jawami’.
 
Pintu masuk Masjid 'Amru

Shan; Pelataran dalam masjid



Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels